Kamis, 22 Agustus 2013

Negara Kecil Akan Segera Tenggelam

Maria Tiimon Chi-Fang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Perempuan yang mewakili Kiribati dalam konferensi Aliansi Negara Kepulauan Kecil (Alliance of Small Island States/AOSIS) pekan lalu di Doha, Qatar, tak puas pada hasil kesimpulan. Intinya, negara-negara maju belum memberi dukungan penuh terhadap aksi penyelamatan musibah karamnya negara-negara kepulauan yang miskin.

"Ini membuat kita sedih, terutama di Kepulauan Pasifik karena Selandia Baru dan Australia membuat janji yang tak mengikat. Sementara, Kanada tidak mendaftar komitmen periode kedua pada emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto," katanya, Jumat (7/12/2012).


Sedianya, negara-negara kecil itu menuntut kesepakatan soal pemotongan emisi gas rumah kaca yang baru dalam menggantikan Protokol Kyoto. Artinya, diharapkan dapat memecahkan kewajiban diferensial pada negara-negara kaya dan miskin. Namun, Selandia Baru, Jepang, Rusia, dan Kanada mengatakan mereka menarik keluar dari aksi perjanjian penyelamatan karena berseteru dengan Cina.


AOSIS yang menjadi wadah 43 negara kepulauan kecil yang telah mencapai kesepakatan di Durban tak berkuasa menghadapi keinginan negara makmur, terutama Uni Eropa. Chi-Fang mengingatkan negara-negara kepulauan kecil, seperti Kiribati dan Tuvalu hanya menghitung hari untuk terhapus dari peta. "Ada begitu banyak negosiasi dan diskusi tentang masalah ini, tapi negara-negara pulau kecil marah dengan hasilnya karena mereka tampaknya tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi," sergah dia.

Ketakutan Chi-Fang memang beralasan. Beberapa kawasan kini didera kenaikan air laut di atas rata-rata global, yakni 3 milimeter tiap tahun. Seperti di permukaan laut di garis pantai Perth, Australia Barat, air naik tiga kali lipat. Menteri Infrastruktur Federal Anthony Albanese mengungkapkan catatan naiknya permukaan laut yang dilakukan sejak tahun 1993 menunjukkan angka antara 9 mm dan 10 mm per tahun.

Pencairan lapisan es di Arktik makin mengancam cepatnya kenaikan permukaan air laut dibanding perhitungan sebelumnya. Wilayah air bersuhu hangat meluas akibat melelehnya gletser dan lapisan es. Alhasil, volume air laut di dunia meningkat.

Publikasi studi pertengahan tahun ini oleh Rahmstorf Universitas Wageningen Belanda memasukkan faktor-faktor tambahan dari Arktik ini menyimpulkan: bahkan bila rencana dunia internasional berhasil, pemanasan global hingga 2 derajat Celcius, maka permukaan laut global pada 2300 rata-rata meningkat 1,5 sampai 4 meter dari kondisi saat ini. Hal ini bisa menghancurkan daerah pesisir dunia dan kota-kota besar yang terletak di sekitarnya. "Misalnya, bagi kota New York, kenaikan permukaan laut sampai 1 meter akan meningkatkan frekuensi banjir besar yang tadinya sekali satu abad menjadi setiap tiga tahun sekali," demikian perkiraan Rahmstorf.

Karena itu, 14 negara kecil terancam hilang, terutama di kawasan Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, Palau, dan Nauru. Pemanasan global ini juga akan menelan minimal 18 pulau di muka bumi seperti tujuh pulau di Manus, Niugini.

Bagaimana nasib mereka kini? Lihat saja Kiribati, negara berpenduduk 107.800 orang ini, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang tenggelam. Pulau-pulau ini tampaknya bakal menyusul tiga pulau karang di Kiribati yang sudah tenggelam lebih dulu.



Tak berbeda dengan Tuvalu. Negara yang dahulu dikenal dengan Kepulauan Ellice juga kehilangan beberapa pulau dari 114 pulau yang mengelilingi negara di antara Hawaii dan Australia di Samudra Pasifik tersebut. Sebab, titik tertinggi di daerah ini hanya 5 meter di atas permukaan laut.

Yang paling menarik adalah Nauru. Eksploitasi besar-besaran telah mendefisitkan permukaan tanah negara daerah Pasifik Selatan, sekitar 500 km dari Papua itu. Meski sebenarnya Nauru punya dataran hingga 200 meter di atas permukaan laut, kini tetangga Tuvalu ini juga siap dilalap air bah.

Sedikit mundur ke belakang, negara dengan luas 21 km persegi ini, pada dekade 1980-an menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan per kapitanya pada 1981 hingga US$17.000 , jauh di atas Indonesia yang kala itu hanya US$530. Fosfat merupakan tambang utama.

Tercatat, lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung Guano yang menumpuk selama ratusan, bahkan ribuan tahun lalu sehingga menjadi fosfat. Setelah merdeka dari Australia pada 31 Januari 1968, pertambangan fosfat bisa menghasilkan hingga 41 juta ton. Kemudian, terjadilah eksploitasi besar-besaran.

Lambat laun, cadangan fosfat Nauru menipis. Sampai 2006, banyak pertambangan besar Nauru tutup akibat habisnya pasokan fosfat. Singkat kata, negara ini bangkrut. Utangnya mencapai US$240 juta. Gedung pencakar langit seperti Nauru House, Sydney's Mercure Hotel, Royal Randwick Shopping Center, dan hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne yang merupakan milik konglomerat Nauru harus dilego.

Di samping itu, terjadi kerusakan lingkungan. Greenpeace mencatat, 90% wilayah itu kini sudah tak layak huni. Nauru lantas menuntut Inggris, Australia, dan Selandia Baru bayar ganti rugi atas kerusakan ekologinya. Dengan alasan, perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Nauru berasal dari ketiga negara itu.

Akhirnya atas keputusan bersama, Australia membayar US$2,5 juta per tahun selama 20 tahun. Sementara, Inggris dan Selandia Baru, masing-masing membayar US$12 juta. Nyatanya, dana itu tak bisa menyelamatkan lingkungan. Vegetasi hijau dan habitat mamalia musnah sehingga hewan di sana bisa dihitung jari.

Masalah kian pelik karena lahan telah kehilangan cadangan air. Nauru menjadi daerah gersang dan mengalami penyusutan lahan secara drastis. Menurut Greenpeace, masa rehabilitasi membangun kembali ekosistem negara ini butuh waktu 30 tahun dengan biaya sekitar US$200 juta.

Itulah alasan mengapa Nauru bersama negara-negara kepulauan kecil lainnya meminta negara maju ikut membantu. AOSIS yang berdiri sejak 1990 terus mendengungkan suara Small Island Developing States (SIDS) akibat pemanasan global.

Baru-baru ini AOSIS berhasil menekan Selandia Baru guna menggelontorkan bantuan. Menteri Luar Negeri Murray McCully pekan ini melakukan tur di Kepulauan Marshall, Kiribati, dan Tuvalu guna memberikan bantuan.

AOSIS juga mendorong PBB untuk ikut bertanggung jawab. Menurut mereka dari 43 keanggotaan AOSIS, 37 negara merupakan anggota PBB yang  sedang berjuang dari malapetaka tenggelam. AOSIS sedang giat mengampanyekan perjanjian baru 2015 yang mengikat negara kaya dan miskin dalam mengatasi perubahan iklim terkait Protokol Kyoto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar