Maria Tiimon
Chi-Fang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Perempuan yang mewakili
Kiribati dalam konferensi Aliansi Negara Kepulauan Kecil (Alliance of Small
Island States/AOSIS) pekan lalu di Doha, Qatar, tak puas pada hasil kesimpulan.
Intinya,
negara-negara maju belum memberi dukungan penuh terhadap aksi penyelamatan
musibah karamnya negara-negara kepulauan yang miskin.
"Ini membuat kita sedih, terutama di Kepulauan Pasifik karena Selandia
Baru dan Australia membuat janji yang tak mengikat. Sementara, Kanada tidak
mendaftar komitmen periode kedua pada emisi gas rumah kaca di bawah Protokol
Kyoto," katanya, Jumat (7/12/2012).
Sedianya, negara-negara kecil itu menuntut kesepakatan soal pemotongan
emisi gas rumah kaca yang baru dalam menggantikan Protokol Kyoto. Artinya,
diharapkan dapat memecahkan kewajiban diferensial pada negara-negara kaya dan
miskin. Namun, Selandia Baru, Jepang, Rusia, dan Kanada mengatakan mereka
menarik keluar dari aksi perjanjian penyelamatan karena berseteru dengan Cina.
AOSIS yang menjadi wadah 43 negara kepulauan kecil yang telah mencapai
kesepakatan di Durban tak berkuasa menghadapi keinginan negara makmur, terutama
Uni Eropa. Chi-Fang mengingatkan negara-negara kepulauan kecil, seperti
Kiribati dan Tuvalu hanya menghitung hari untuk terhapus dari peta. "Ada
begitu banyak negosiasi dan diskusi tentang masalah ini, tapi negara-negara
pulau kecil marah dengan hasilnya karena mereka tampaknya tidak peduli dengan
apa yang sebenarnya terjadi," sergah dia.
Ketakutan Chi-Fang memang beralasan. Beberapa kawasan kini didera kenaikan
air laut di atas rata-rata global, yakni 3 milimeter tiap tahun. Seperti di permukaan laut di garis pantai
Perth, Australia Barat, air naik tiga kali lipat. Menteri Infrastruktur Federal
Anthony Albanese mengungkapkan catatan naiknya permukaan laut yang dilakukan
sejak tahun 1993 menunjukkan angka antara 9 mm dan 10 mm per tahun.
Pencairan lapisan
es di Arktik makin mengancam cepatnya kenaikan permukaan air laut dibanding
perhitungan sebelumnya. Wilayah air bersuhu hangat meluas akibat melelehnya
gletser dan lapisan es. Alhasil, volume air laut di dunia meningkat.
Publikasi studi
pertengahan tahun ini oleh Rahmstorf Universitas Wageningen Belanda memasukkan
faktor-faktor tambahan dari Arktik ini menyimpulkan: bahkan bila rencana dunia
internasional berhasil, pemanasan global hingga 2 derajat Celcius, maka
permukaan laut global pada 2300 rata-rata meningkat 1,5 sampai 4 meter dari
kondisi saat ini. Hal ini bisa menghancurkan daerah pesisir dunia dan
kota-kota besar yang terletak di sekitarnya. "Misalnya, bagi kota New
York, kenaikan permukaan laut sampai 1 meter akan meningkatkan frekuensi banjir
besar yang tadinya sekali satu abad menjadi setiap tiga tahun sekali,"
demikian perkiraan Rahmstorf.
Karena itu, 14 negara kecil terancam hilang, terutama di kawasan Samudra
Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, Palau, dan Nauru. Pemanasan global
ini juga akan menelan minimal 18 pulau di muka bumi seperti tujuh pulau di
Manus, Niugini.
Bagaimana nasib mereka kini? Lihat saja Kiribati, negara berpenduduk
107.800 orang ini, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang tenggelam. Pulau-pulau
ini tampaknya bakal menyusul tiga pulau karang di Kiribati yang sudah tenggelam
lebih dulu.
Tak berbeda dengan Tuvalu. Negara yang dahulu dikenal dengan Kepulauan
Ellice juga kehilangan beberapa pulau dari 114 pulau yang mengelilingi negara
di antara Hawaii dan Australia di Samudra Pasifik tersebut. Sebab, titik tertinggi di daerah ini hanya
5 meter di atas permukaan laut.
Yang paling
menarik adalah Nauru. Eksploitasi besar-besaran telah mendefisitkan permukaan
tanah negara daerah Pasifik Selatan, sekitar 500 km dari Papua itu. Meski
sebenarnya Nauru punya dataran hingga 200 meter di atas permukaan laut, kini
tetangga Tuvalu ini juga siap dilalap air bah.
Sedikit mundur ke belakang, negara dengan luas 21 km persegi ini, pada
dekade 1980-an menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan per
kapitanya pada 1981 hingga US$17.000 , jauh di atas Indonesia yang kala itu
hanya US$530. Fosfat merupakan
tambang utama.
Tercatat, lebih
dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung Guano yang menumpuk
selama ratusan, bahkan ribuan tahun lalu sehingga menjadi fosfat. Setelah
merdeka dari Australia pada 31 Januari 1968, pertambangan fosfat bisa
menghasilkan hingga 41 juta ton. Kemudian,
terjadilah eksploitasi besar-besaran.
Lambat laun,
cadangan fosfat Nauru menipis. Sampai 2006, banyak pertambangan besar Nauru
tutup akibat habisnya pasokan fosfat. Singkat kata, negara ini bangkrut.
Utangnya mencapai US$240 juta. Gedung pencakar langit seperti Nauru House,
Sydney's Mercure Hotel, Royal Randwick Shopping Center, dan hotel-hotel
Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne yang merupakan milik konglomerat
Nauru harus dilego.
Di samping itu,
terjadi kerusakan lingkungan. Greenpeace mencatat, 90% wilayah itu kini sudah
tak layak huni. Nauru lantas menuntut Inggris, Australia, dan Selandia
Baru bayar ganti rugi atas kerusakan ekologinya. Dengan alasan,
perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Nauru berasal dari ketiga
negara itu.
Akhirnya atas keputusan bersama, Australia membayar US$2,5 juta per tahun
selama 20 tahun. Sementara, Inggris dan Selandia Baru, masing-masing membayar
US$12 juta. Nyatanya, dana itu tak bisa menyelamatkan lingkungan. Vegetasi
hijau dan habitat mamalia musnah sehingga hewan di sana bisa dihitung jari.
Masalah kian pelik karena lahan telah kehilangan cadangan air. Nauru
menjadi daerah gersang dan mengalami penyusutan lahan secara drastis. Menurut Greenpeace, masa rehabilitasi
membangun kembali ekosistem negara ini butuh waktu 30 tahun dengan biaya
sekitar US$200 juta.
Itulah alasan mengapa Nauru bersama negara-negara kepulauan kecil lainnya
meminta negara maju ikut membantu. AOSIS
yang berdiri sejak 1990 terus mendengungkan suara Small Island Developing
States (SIDS) akibat pemanasan global.
Baru-baru ini AOSIS berhasil menekan Selandia Baru guna menggelontorkan
bantuan. Menteri Luar Negeri Murray McCully pekan ini melakukan tur di
Kepulauan Marshall, Kiribati, dan Tuvalu guna memberikan bantuan.
AOSIS juga
mendorong PBB untuk ikut bertanggung jawab. Menurut mereka dari 43 keanggotaan
AOSIS, 37 negara merupakan anggota PBB yang sedang berjuang dari
malapetaka tenggelam. AOSIS sedang giat mengampanyekan perjanjian baru 2015
yang mengikat negara kaya dan miskin dalam mengatasi perubahan iklim terkait
Protokol Kyoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar